Saya berjalan dikeseharian menggunakan sepeda motor saya. Terkadang banyak hal yang ingin saya ceritakan tentang lika-liku berkendara di Ibukota ini. Lucunya sebagian besar orang yang saya lihat itu menjadi emosional ketika insiden terjadi.
Tapi apa yang terjadi ?
Dia menengok dan mengeluarkan sumpah serapah dan semua kebun binatang kepada saya. Lalu saya enggan meladeni orang yang seperti ini. Saya tidak bergeming, hanya terus melanjutkan perjalanan saya.
Dan kejadian ini tidak satu kali terjadi dalam keseharian saya berkendara, itu bahkan sehari saya bisa menikmati 3 sampai 4 kali dalam perjalanan.
Dan saya menikmati.
Hanya saja pertanyaan saya, jika kita tidak mulai belajar mengevaluasi kelalaian kita dalam berkendara, maka resiko yang terburuk itu pun pasti akan terjadi. Itu dikarenakan kita tidak pernah mau mengevaluasi diri dan selalu menganggap yang paling benar dalam segala hal.
Coba bayangkan berapa banyak yang kita rugikan akibat kita yang tidak pernah mengevaluasi diri kita sendiri. Saya tidak menganggap selalu benar, tapi kebetulan saja saya ada di posisi teromeli dan teraniaya lebih banyak dibandingkan melakukan kesalahannya.
Saya tidak mempermasalahkan apa ocehannya, tapi saya mempermasalhkan berapa banyak korban nantinya jika dia teruskan berbuat seperti itu dalam waktu yang cukup lama. Dia menganggap orang lain tahu apa yang ingin dia lakukan dengan memutar tanpa menggunakan lampu sen.
Kita tidak sadar dan tidak mengerti, ketika kita menaiki motor merasa selalu benar jika bermasalah dengan yang namanya mobil. Dan jika kita adalah seorang pejalan kaki, maka akan merasa selalu benar terhadap orang yang berkendaraan.
Saya melihat ketika hukum tidak dapat perspektif menilai siapa yang salah, yang terjadi adalah kendaraan yang lebih besar selalu disalahkan. Dan lihat sudah berapa banyak mobil yang dibakar akibat dia bertabrakan dengan sepeda motor, padahal yang menabrak itu adalah sepeda motornya, bukan mobil, tapi yang pertama diproses oleh "hukum rimba" adalah sang supir mobil ditarik, dan diocehi oleh warga sekitar.
Rasa selalu ingin benar itu selalu saja terjadi di kota seangkuh Jakarta ini. Begitu hampir terjadi sebuah kejadian, yang pertama kali kita lakukan adalah MENYALAHKAN ORANG LAIN.
MENYALAHKAN ORANG LAIN !!
Kenapa kita tidak berani menyalahkan diri sendiri ? Mengapa kita tidak berani melihat dahulu permasalahan yang terjadi sebenarnya, apakah ini benar salah kita atau salah dari orang yang membuat kita celaka.
Cobalah kita mengintropeksi diri terlebih dahulu, sebelum kita mengintropeksi diri orang lain, coba kita lihat kita dulu baru melihat orang lain. Orang lain saya anggap adalah cermin bagi diri saya. Jika akhirnya orang lain sanggup berbuat jahat pada kita maka ada yang salah dari kita sehingga menyebabkan kita mendapat hukuman dijahati oleh orang lain.
Kenapa kita tidak berfikir tentang kita terlebih dahulu baru mereka. Kenapa kita tidak melihat kitanya dahulu baru melihat mereka. Rasa ini yang sudah mulai berkurang, yang mana dahulu kala ini dinamakan dengan TENGGANG RASA.
Ke egoisan kota Jakarta membuat kita lupa akan diri kita sendiri, dan menyebabkan kepentingan kita diatas segala-galanya diatas kepentingan bersama. Dimana kita bisa melihat kasus-kasus korupsi terus meraja lela di Negeri Surga Jakarta kita ini.
Inilah sebuah ke Tenggang rasa an yang mulai pudar dan perlahan hilang. Yang sangat ditakutkan nantinya, Tenggang rasa menjadi sebuah mitos yang diragukan oleh generasi penerus setelah kita. Tenggang rasa akhirnya menjadi sosok yang tidak pernah nampak. Itu karena kita yang sudah mulai melunturkan artinya rasa.
Rasa salah itu diciptakan oleh hati pada saat kita tidak enak dalam melakukan sebuah hal. Kita pernah melakukan sebuah kegiatan yang tidak didukung oleh hati, tidak tega, tidak enak, tidak sampai hati, dsb.
Masih ingat rasa itu ?
Jika masih kapan kita mengalami rasa itu ?
Apakah akhirnya kita mengikuti rasa yang diciptakan oleh hati tersebut ? hampir rata-rata saya katakan tidak.
Loh kenapa ?
Buktinya pada saat berkendara tadi, orang lebih mengutamakan mencaci terlebih dahulu dibanding berfikir siapa yang salah sebenarnya. Hatinya sudah tertutup oleh emosi, hatinya telah tertutup oleh rasa egoisme yang tinggi, maka dia tidak akan pernah bertanya kepada hatinya bahwa itu semua sebenarnya kesalahan dirinya 99 % pasti.
Dampaknya bagi kita semua adalah kota ini akan menjadi panas, karena semua terkumpulnya rasa Ambisi yang dimiliki oleh seluruh penduduk kota ini. Tidak ada penyeimbang, semuanya selalu berambisi untuk mendapatkannya, memenangkannya, meraihnya dengan 1001 cara dan tindakan.
Semoga masih selalu ada hati nurani kita dalam menilai suatu hal, yang menandakan kita sebagai makhluk yang ihsan, memaafkan dan mau memberi bukan memarahi. Kita semua terlahir sama, kita semua tercipta tidak dibeda-bedakan, sama-sama memiliki kekurangan dan sama-sama memiliki kelebihan.
Maka bagi kelebihan kita kepada yang kurang, maka belajarlah melengkapi kurangnya kita kepada orang yang lebih, mari berbagi.
Salam Kreatif,
@rie fabian
baiklah..baiklah...aku intropeksi diri..
BalasHapusMemang suka begitu, kalo dijalan rasanya merasa diri kita yang selalu benar,..
Hawanya di jalanan tuh panas tuh,apalagi kalo ada yang nyalip..
sebagai tukang ojek antar jemput sekolah anak,dan penguna jalan raya..
Aku akan menjaga hati, untuk bertenggang rasa terhadap sesama..
ciyeee..
...
tengkyu yaa Ri sudah mengingatkan...
Mama Olive >> Sama sama saya juga menulis untuk mengingatkan saya juga kok.
BalasHapusSalam Kreatif,
@rie fabian-
Kapan2 aku mau ngojek sama Mama olive, minta anterin keliling Bandung ahh.. :D
BalasHapuswah wah .. Ikut dong kang ...
BalasHapus@rie fabian-