Iklan :

17 Agustus 2011

Sejarah Peci Bung Karno


Google Image

“Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.” Itulah sebuah pesan dari Bung Karno. Lalu bagaimana ceritanya ? 



Peci bukan merupakan hasil budaya dari Indonesia asli. Peci memiliki keaneka ragaman model dan bentuk. Terlebih kembali pada saat jaman sekarang yang telah banyak modifikasi. Namun yang harap diingat selalu adalah peci bukan sebuah simbol dari keagamaan tertentu. 

Peci yang sering digunakan oleh Bapak Founding Father kita adalah jenis peci Songkok. Maka jika kita ketik Peci Songkok pada wikipedia kita akan melihat gambar Bapak pendiri Bangsa Indonesia ini. 

Peci Sonkok ini merupakan peci tradisi dari budaya melayu. Peci Songkok ini tidak semata-mata hanya orang islam saja yang memakai. Peci Songkok juga dipakai oleh Tentara Malaysia dan Thailand untuk upacara-upacara tertentu dinegeri mereka. Selanjutnya anda bisa baca sejarah tersebut pada Wikipedia. 

Lalu bagaimana ceritanya tentang bung Karno dan Peci Songkoknya tersebut. PEMUDA itu masih berusia 20 tahun. Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat. Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri




“Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?”

“Aku seorang pemimpin.”

“Kalau begitu, buktikanlah,” batinnya lagi. “Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat... Sekarang!”

Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah. Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara: ”…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”

Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci, seperti dituturkannya dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. Sukarno menyebut peci sebagai “ciri khas saya... simbol nasionalisme kami.” Sukarno mengkombinasikan peci dengan jasa dan dasi. Ini, menurut Sukarno, untuk menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia (terjajah) dan Belanda (penjajah).

Sejak itu, Sukarno hampir selalu mengenakan peci hitam saat tampil di depan publik. Seperti yang dia lakukan saat membacakan peldoinya “Indonesia Menggugat” di Pengadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930. Dan peci kemudian menjadi simbol nasionalisme, yang mempengaruhi cara berpakaian kalangan intelektual, termasuk pemuda Kristen.

Karena itulah, George Quinn dalam The Learner’s Dictionary of Today’s Indonesia, mendefinisikan cap (peci) dengan mengambil contoh Sukarno: Soekarno sat in the courtroom wearing white trousers, a white jacket and a black cap (Sukarno duduk di pengadilan, memakai celana putih, jas putih, dan peci hitam).

Sebenarnya Sukarno bukanlah intelektual yang kali pertama menggunakan peci. Pada 1913, rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag mengundang tiga politisi, yang kebetulan lagi menjalani pengasingan di Negeri Belanda: Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Ketiganya menunjukkan identitas masing-masing. Ki Hajar menggunakan topi fez Turki berwarna merah yang kala itu populer di kalangan nasionalis setelah kemunculan gerakan Turki Muda tahun 1908 yang menuntut reformasi kepada Sultan Turki. Tjipto mengenakan kopiah dari beludru hitam. Sedangkan Douwes Dekker tak memakai penutup kepala. Tampaknya Sukarno mengikuti jejak gurunya, lebih memilih peci beludru hitam.

Sebenarnya, dari mana asal peci? Sukarno menyebut peci asli milik rakyat kita mirip dengan yang dipakai para buruh bangsa Melayu.

“Menurut beberapa ahli, ini adalah tutup kepala yang merupakan pendahulu songkok di Asia Tenggara,” tulis Rozan.


“Tutup kepala yang paling lazim digunakan adalah peci atau kopiah yang terbuat dari beludru hitam, yang semula merupakan salah satu bentuk kerpus Muslim. Setelah diterima oleh Sukarno dan PNI sebagai lambang nasionalisme, peci mempunyai makna lebih umum,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.


Peci tak lagi menjadi tanda kemusliman dan kesalehan seseorang. Kini, ia menjadi busana formal.


Nah jadi jangan mengsalah artikan sebuah budaya menjadi satu fanatisme agama tertentu. Ketika kita membicarakan tentang budaya maka kita harus bisa menerima perbedaan dari jenis yang lainnya, contoh hal perbedaan agama, ras dan lain sebagainya. 

Mari kita membaca sejarah-sejarah yang sudah banyak tertuang kepada para pendahulu kita. Dengan begitu kita dapat mengerti mengapa satu keadaan diputuskan demikian. 


Selamat berkreasi, 


@rie fabian 


Sumber : 
http://archive.kaskus.us/thread/5027114
Kompas

0 comments:

Posting Komentar

Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar dibawah ini.